Sebagian warga yang lain juga melihat bayangan putih, wujudnya perempuan sedang menangis. Yang paling aneh, wajah wanita itu persis dengan si Rika. Mungkinkah si Rika juga dibunuh oleh para penjahat biadab tersebut?
Untuk mencegah kegelisahan dan kecemasan penduduk semakin berlarut-larut, kembali Pak Umar orang pintar di desa itu dihadirkan. Mereka minta tolong agar orang tua tersebut melakukan ritual, sehingga bisa diketahui apa sesungguhnya di balik tabir arwah-arwah gentayangan itu.
Pak Umar pun kemudian melaksanakan apa yang menjadi kemauan warga Desa Kualadendang. Dari hasil ulah batinnya, dia kemudian yakin bahwa Rika putri kembar Pak Dahlan juga telah meninggal secara mengenaskan.
“Tapi di mana mayatnya ditanam, dan siapa pembunuhnya, saya belum memperoleh petunjuk,” kata Pak Umar lagi.
“Jangan-jangan si Anu…..”, kata warga ragu-ragu.
“Anu-anu siapa? Kalau ngomong hati-hati, kamu!” tegur penduduk yang lain.
Memang, warga tak berani melemparkan dugaan secara terang-terangan. Mereka hanya bisa berbisik-bisik, menduga-duga apa motifnya dan siapa pula pembunuh keluarga Dahlan. Mungkinkah mereka perampok biasa, atau ada unsur balas dendam.
Menyinggung masalah ini para warga lalu ingat bahwa beberapa bulan sebelum hari mengenaskan tersebut tiba, Pak Dahlan pernah menolak lamaran Agus, pemuda setempat yang jatuh cinta pada Rika.
“Bukannya aku menolak Nak, tapi anakku kan masih kecil. Biarkan dia menyelesaikan sekolahnya dulu….”, kata Pak Dahlan kala itu.
“Buat apa sekolah, Pak? Tanpa Rika bekerja pun kelak, aku sanggup menghidupinya….”, kata Agus ketus.
Namun keluarga Pak Dahlan kala itu tak juga bergeming. Agus rupanya menjadi sakit hati, karena kata-kata Pak Dahlan tak lebih hanyalah penolakan cintanya secara halus. Untuk mengungsikan hatinya yang luka pernah Agus pindah ke kota, tapi hanya beberapa bulan kembali lagi ke desa. Ia pun melakukan pembunuhan itu.