Puasa Para Nabi Terdahulu dan Keutamaannya Puasa Ramadhan

Diposting pada

Puasanya Nabi Nabi Terdahulu 

PUASA NABI ADAM 

Menukil dari kitab Umdatul Qari`Syarhu Shahihil Bukhari, Kiai Mahbub menjelaskan bahwa sebab dinamai ayyamul bidh terkait dengan kisah Nabi Adam as ketika diturunkan ke muka bumi. Saat itu, Nabi Adam AS diturunkan ke muka bumi seluruh tubuhnya terbakar oleh matahari sehingga menjadi hitam/gosong. Kemudian Allah memberikan wahyu kepadanya agar berpuasa selama tiga hari, yakni tanggal 13, 14, dan 15. Nabi Adam pun menjalankan perintah tersebut. Manakala berpuasa pada hari pertama, sepertiga badannya menjadi putih. Di hari kedua puasa, dua pertiga tubuhnya pun memutih. Sementara setelah puasa hari ketiga, seluruh tubuhnya menjadi putih.

PUASA NABI ISA

Dalam kitab “Bayaan Al-Ma’aani” Umat nasrani pada saat itu diwajibkan berpuasa 40 hari setiap tahunnya sebagaimana yang dilakukan Nabi Isa berpuasa sebanyak itu.

Puasa mereka sebelumnya sama dengan kita dalam hal tidak boleh makan dan minum. Akan tetapi puasa mereka lebih lama yaitu setiap harinya 24 jam selama 40 hari.

Setelah itu mereka meringankan ibadah puasa dengan hanya memakan makanan yang tidak memiliki ruh. Artinya, mereka dilarang memakan daging hewan. Adapun makanan yang tidak ada ruhnya boleh dimakan seperti sayuran.  Hingga saat ini kaum Nasrani masih ada yang mengamalkan amalan puasa tersebut.

Begitulah puasa Nabi Isa dulunya yaitu puasa selama 24 jam dalam jangka 40 hari. Setelah generasi sesudahnya, umat Nabi Isa kemudian berpuasa dari memakan makanan yang ada ruhnya.

PUASA NABI DAWUD

Puasa sunnah yang paling disukai oleh Allah ta’ala, Puasa Dawud

Artinya: “Puasa yang paling disukai di sisi Allah adalah puasa Dawud, dan shalat yang paling disukai Allah adalah shalat Nabi Dawud. Beliau biasa tidur di pertengahan malam dan bangun pada sepertiga malam terakhir dan beliau tidur lagi pada seperenam malam terakhir. Sedangkan beliau biasa berpuasa sehari dan berbuka sehari berikutnya” (HR al-Bukhari dan Muslim).

7 Keutamaan Puasa Ramadhan atau Fadilahnya

Dalam kitab Maqâshid al-Shaum, Sulthân al-Ulamâ’, Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami (w 660 H) :

1. Mengangkat derajat.

Pandangannya ini berlandaskan beberapa hadits Nabi Muhammad saw, salah satunya yaitu:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنَ 

Artinya: Ketika Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan setan pun dibelenggu (HR Imam Muslim).

Sementara tentang ditutupnya pintu neraka, Imam Izzuddin menganggapnya sebagai simbol untuk mengurangi maksiat. 

2. Menghapus dosa.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ  

Artinya: Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).

3. Mengalahkan syahwat.

Hal itu berdasarkan hadits Rasulullah saw: 

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ, فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ 

Artinya: Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih bisa menundukan pandangan dan lebih mudah menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah penekan syahwatnya (HR Imam Ahmad dan Imam Bukhari).

Kisah Penciptaan Nafsu Pengarang Kitab Tanbihul Ghafilin (peringatan bagi orang yang lalai) Abu Laits As-Samarqandi menceritakan kisah penciptaan Akal (al-Aql) dan Nafsu (Nafsun atau Nufusun). Saat penciptaan keduanya, ternyata Nafsu memiliki karakter yang degil, keras dan membangkang kepada Allah Ta’ala. Dalam paparannya, Abu Laits As-Samarqandi menukil sebuah kitab karangan ‘Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Al-Khaubawiyi, seorang ulama yang hidup pada abad ke 13 Hijrah. 

Beliau menerangkan ketika Allah Ta’ala menciptakan Akal, maka Allah berfirman yang artinya: 

  • “Wahai Akal menghadaplah engkau.”
  • jawab :  Maka Akal pun menghadap ke hadapan Allah. 
  • Kemudian Allah berfirman: “Wahai Akal berbaliklah engkau!”,
  • jawab :  lalu Akal pun berbalik menuruti perintah Allah. 
  • Kemudian Allah Ta’ala berfirman lagi: “Wahai Akal! Siapakah aku?”. 
  • jawab : Lalu Akal pun berkata, “Engkau adalah Tuhan yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu yang dhaif dan lemah”. 
  • Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Akal, tidak Ku-ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada engkau.”
  • Setelah iu, Allah Ta’ala menciptakan Nafsu, dan berfirman kepadanya: 
  • “Wahai Nafsu, menghadaplah kamu!
  • “. Nafsu tidak menjawab dan sebaliknya mendiamkan diri. 
  • Kemudian Allah Ta’ala berfirman lagi: “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”.
  •  Lalu nafsu berkata, “Aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau.” Setelah itu, Allah Ta’ala menyiksanya di dalam neraka jahim selama 100 tahun, dan kemudian mengeluarkannya. 
  • Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”. 
  • Lalu Nafsu berkata, “Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau.” Lalu Allah Ta’ala memasukkan Nafsu ke dalam neraka Juu’ (neraka yang penuh dengan rasa lapar) selama 100 tahun. 
  • Setelah dikeluarkan maka Allah Ta’ala berfirman: “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”. Akhirnya Nafsu mengakui dengan berkata, “Aku adalah hamba-Mu dan Engkau adalah Tuhanku.” 
  • Dalam kitab tersebut diterangkan bahwa dengan sebab itulah maka Allah Ta’ala mewajibkan puasa.  Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin berkata, “Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuiasai nafsunya.” 

4. Memperbanyak sedekah.

Dalam hal ini, puasa merupakan sarana pelebur kemungkinan pertama (menjadi egois). Orang yang berpuasa telah menyengajakan dirinya untuk melalui peleburan tersebut, dan melatih dirinya sendiri untuk menjadi lebih perasa. 

5. Memperbanyak ketaatan. 

Di sinilah pentingnya pengetahuan, karena pengetahuan bisa membuat manusia memperbaharui atau mengarahkan niat ibadahnya. Manusia yang mengetahui kelaparan dan kehausan ahli neraka, mendorong mereka memperbanyakan ketaatan mereka kepada Allah agar tidak sampai mengalami kejadian itu.

6. Mensyukuri nikmat tersembunyi.

Manusia sering lalai atas nikmat Tuhan yang mengelilinginya sehari-hari seperti udara, nafas, gerak dan lain sebagainya. Menurut Imam Izzuddin al-Sulami, puasa dapat mengembalikan ingatan itu dan membuat mereka mensyukurinya. Beliau berkata: 


إذا صام عرف نعمة الله عليه في الشِّبَع والرِّيّ فشكرها لذلك, فإنّ النِّعَم لا يُعرف مقدارُها إلّا بفقدها 

Artinya: Ketika berpuasa, manusia menjadi tahu nikmat Allah kepadanya berupa kenyang dan terpenuhinya rasa haus. Karena itu mereka bersyukur. Sebab, kenikmatan tidak diketahui kadar/nilainya tanpa melalui hilangnya rasa nikmat itu (terlebih dahulu).

7. Mencegah keinginan bermaksiat.

Orang yang kenyang memiliki kecenderungan lebih untuk bermaksiat, tapi di saat lapar dan haus, fokusnya lebih pada mencari makanan dan minuman khususnya untuk berbuka puasa, sehingga mengurangi keinginannya berbuat jahat.mengetahui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *